|
Bermula
dari 5 tahun silam, ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Surabaya. Sebagai
seorang pemuda perantau yg masih lugu, saya ke pulau Jawa untuk melanjutkan
studi dan mengadu nasib.Paman dan Bibi yang tinggal di sebuah kota
kecil LM sebelah timur Surabaya
sudah dikirimi telegram utk menjemput saya, namun karena komunikasi yg
kurang lancar, sehingga kami tdk bertemu.
|
Dengan berbekal alamat rumah Paman, saya memutuskan untuk langsung berangkat ke kota LM dengan menggunakan bis kota.Tiba di kota LM sudah menjelang sore hari, dan dalam keadaan lapar saya menuju ke rumah Paman, namun ternyata Paman dan Bibi sudah sejak pagi be-rangkat ke Surabaya untuk menjemput saya. Berkat kebaikan tetangga (karena sudah diberitahu Bibi mengenai kedatangan saya) Pak Edy dan istrinya Bu Ning (keduanya berusia sekitar 45 tahunan), saya diberitahu untuk tinggal sementara di rumah mereka. Disinilah awal dari inti kisah nyata saya.
Bu
Ning sebagaimana umumnya wanita Jawa setengah baya dan kebetulan belum dikarunia
momongan selalu memakai kebaya dan rambutnya disanggul, se-hingga penampilan
selalu anggun. Bertubuh sekal, pinggul dan pantatnya yang besar, suka tersenyum
dan sangat baik. Malam itu kira-kira jam 19:00, Pak Edy sebagai petugas kantor
pos harus lembur malam karena akhir Desember banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan. Sementara saya karena kecapaian setelah menempuh perjalanan
panjang tertidur pulas di kamar yang telah disediakan Bu Ning.
Kira-kira
jam 11 malam saya terbangun untuk ke kamar kecil yang ada di belakang rumah,
dan saya harus melewati ruang tamu. Di ruang tamu saya melihat Bu Ning sedang
menonton TV sendirian sambil rebahan di kursi panjang. “Mau kemana Dik..? Mau
keluar maksudnya..?” tanya Bu Ning lagi. Karena rupanya Bu Ning tidak mengerti,
akhirnya saya katakan bahwa saya mau kencing. “Ohh.., kalau begitu biar Ibu
antarkan.” katanya. Waktu mengantar saya, Bu Ning (mungkin pura-pura) terjatuh
dan memegang pundak saya.
Dengan
sigap saya langsung berbalik dan memeluk Bu Ning, dan rupanya Bu Ning langsung
memeluk dan mencium saya, namun saya berpikir bahwa ini hanya tanda terima
kasih. Setelah kencing saya balik ke kamar, namun Bu Ning mengajak saya untuk
nonton TV. Posisi Bu Ning sekarang tidak lagi berbaring, namun duduk selonjor sehingga
kainnya terangkat ke atas dan kelihatan betisnya yang putih bulat. Sebagai
pemuda desa yang masih lugu dalam hal sex, saya tidak mempunyai pikiran yang
aneh-aneh, dan hanya menonton sampai acara selesai dan kembali ke kamar untuk
tidur lagi.
Pagi-pagi
saya bangun menimba air di sumur mengisi bak mandi dan membantu Bu Ning untuk
mencuci, sementara Paman dan Tante belum kembali dari Surabaya karena mereka
sedang mencari saya disana. Om Edy sudah berangkat lagi ke kantor, tinggal saya
dan Bu Ning di rumah. Bu Ning tetap mengenakan sanggul. Beliau tidak berkebaya
melainkan memakai daster yang longgar, duduk di atas bangku kecil sambil
mencuci. Rupanya Bu Ning tidak memakai CD, sehingga terlihat pahanya yang
gempal, dan ketika tahu bahwa saya sedang memperhatikannya, Bu Ning sengaja
merenggang pahanya, sehingga kelihatan jelas bukit vaginanya yang ditumbuhi
bulu yang cukup lebat, namun hingga selesai mencuci saya masih bersikap biasa.
Setelah mencuci, Bu Ning memasak, saya asyik mendengarkan radio, waktu itu
belum ada siaran TV pagi dan siang hari. Siangnya kami makan bersama Om Edy
yang memang setiap hari pulang ke rumah untuk makan siang.
Malam
harinya Om Edy kembali lembur, dan Bu Ning seperti biasa kembali mengenakan
kebaya dan sanggul, sambil nonton TV. Di luar hujan sangat lebat, sehingga
membuat kami kedinginan, dan Bu Ning meminta saya untuk mengunci semua pintu
dan jendela. Pada saat saya kembali ke ruang tamu, rupanya Bu Ning tidak
kelihatan. Saya menjadi bingung, saya cek apakah dia ada di kamarnya, juga
ternyata tidak ada. Saya balik ke kamar saya, ternyata Bu Ning sedang berbaring
di kamar saya, dan pura-pura tidur dengan kain yang tersingkap ke atas,
sehingga hampir semua pahanya yang putih mulus terlihat jelas.
Saya
membangunkan Bu Ning, namun bukannya bangun, malah saya ditarik ke samping
ranjang, dipeluk dan bibir saya diciuminya. Karena saya masih bersikap biasa,
Bu Ning membuka kebayanya dan meminta saya untuk mencium buah dadanya yang
sangat besar dengan puting hitam yang sangat menantang. Saya menuruti dengan
perasaan takut, dan ternyata ketakutan saya membuat Bu Ning semakin penasaran
dan meminta saya untuk membuka baju dan celana panjang, sehingga tinggal CD,
sementara Bu Ning mulai membuka kainnya.
Bu
Ning mulai mencium adik kecil saya, dan meminta saya melakukan hal yang sama,
dengan mencium vaginanya yang wangi dan merangsang secara ber-gantian. Sambil
mencium vaginanya, tangan saya disuruh meremas buah dadanya yang masih keras
dan kadang memilin putingnya yang mulai mengeras, nafas Bu Ning mulai terasa
cepat, dan meminta saya untuk membuka CD dan mencium tonjolan daging yang
tersembul di mulut vagina. Saya melakukan sesuai perintah Bu Ning, dan ternyata
terasa basah di hidung saya karena banyaknya cairan yang keluar dari vagina Bu
Ning, sementara Bu Ning mendesis dan mendesah keenakan dan kadang-kadang
mengejangkan kakinya.
“Uhhh…
ohhh... ahhh... ohhh... terus Dik..!” desahnya tidak menentu. Meriam saya
berdiri tegang dan Bu Ning masih mempermainkan dengan tangannya. Sesekali Bu
Ning meminta saya untuk me-ngulum bibir dan putingnya. Setelah puas dengan
permainan cumbu-cumbu kecil ini, Bu Ning kembali ke kamarnya dan saya pun
teridur dengan pulasnya.
Pagi-pagi
Paman dan Bibi yang rupanya telah kembali dini hari menjemput saya, dan rumah
Paman dan rumah Om Edy ternyata bersambungan dan hanya dibatasi sumur yang
dipergunakan bersama. Setelah berbasa-basi sebentar, dan Bu Ning katakan bahwa
saya sudah dianggap anak sendiri, jadi kalau Paman dan Bibi berpergian, saya
bisa tidur di rumah Om Edy. Kebetulan Paman pada saat itu sedang menyelesaikan
tugas akhirnya di PTN di kota
ML.
Kehidupan
hari-hari selanjutnya kami lalui dengan biasa, namun kalau sedang berpapasan di
sumur kami selalu senyum penuh arti, dan makin lama membuat saya mulai jatuh
cinta kepada Bu Ning, senang melihat penampilannya yang anggun. Sebulan
kemudian Paman dan Bibi harus ke Ml, dan saya dititipkan lagi pada Om Edy.
Hari
itu adalah hari Jumat. Setelah selesai sarapan, Om Edy pamitan untuk ke BTR
karena ada acara dari kantor sampai minggu sore, dan meminta saya untuk menjaga
Bu Ning. Setelah Om Edy berangkat, saya dan Bu Ning mulai tugas rutin, yaitu
mencuci, dan seperti biasanya Bu Ning selalu mengenakan daster, tanpa CD. Saya
diminta Bu Ning agar cukup memakai CD. Sambil mencuci kami bercengkrama, ciuman
bibir dan mengulum putingnya.
Saya
berdiri menimba air dan Bu Ning jongkok sambil mencium adik kecil saya, atau Bu
Ning yang menimba air saya yang jongkok sambil mencium klitorisnya yang sudah
mulai mengeluarkan cairan. Ketika kami saling birahi dan sudah mencapai puncak,
Bu Ning saya gendong ke kamar. Di ranjang, Bu Ning saya pangku. Sambil mencium
leher, samping kuping dan mengulum putingnya (menurutnya kuluman puting cepat
membuatnya horny), kemudian Bu Ning mengambil posisi telentang dan meminta saya
untuk memasukkan meriam saya yang memang sudah tegang sejak masih berada di
sumur.
Karena
Bu Ning jarang melakukannya, maka meriam saya perlu dioleskan baby oil agar
mudah masuk ke vaginanya yang sudah basah dengan cairan yang beraroma khas
wanita. Pahanya dilebarkan, dilipatkan di belakang betis saya, pantatnya yang
bahenol bergoyang naik turun. Sambil mencium kening nya, samping kupingnya,
mengulum bibirnya, tangan kiri saya mengusap dan kadang menggigit kecil putingnya
atau menjilat leher dan dadanya. “Teruss.. Dikk..! Tekan..! Huh.. hah.. huh..
hahhh.. ditekan.. enakkk sekali.. Ibu rasanya.. nikmattt… terusss.., Ibu udah
mau nyampen nih.. peluk Ibu yang erat Dikkk..!”
desahnya
mengiringi gerakan kami. Sementara itu saya merasakan makin kencang jepitan
vagina Bu Ning. “Saya udahhh.. mauu.. jugaaa.. Bu..! Goyang.. Bu.., goyang..!”
Dan akhir.., pembaca dapat merasakannya sendiri. Akhirnya kami terkulai lemas
sambil tidur berpelukan.
Jam
4 sore kami bangun, dan kemudian mandi bersama. Saya meminta Bu Ning
menungging, dan saya mengusap pantat dan vaginanya dengan baby oil. Rupanya
usapan saya tersebut membuat Bu Ning kembali horny, dan meminta saya untuk
memasukkan kembali adik kecil saya dengan posisi menungging. Tangan saya
mempermainkan kedua putingnya. “Terusss.. ohhh.. terusss.. yang dalam Dik..!
Kok begini Ibu rasa lebih enak..!” katanya. “Ibu goyang dong..!” pinta saya.
Sambil pantatnya digoyangkan ke kiri dan ke kanan, saya melakukan gerakan tarik
dan masuk. “Oohhh.. ahh.. uhhh.. nikmat Dikkk.. terus..!” desahnya.
Akhirnya
Bu Ning minta ke kamar, dan mengganti posisi saya telentang. Bu Ning duduk
sambil menghisap putingnya. “Ohhh.. uhhh.. nikmat Dikkk..!” katanya. Kadang dia
menunduk untuk dapat mencium bibir saya. “Ibu.. udahhh.. mau….. yampe lagi
Dikk.. uhh.. ahhh..!” katanya menjelang puncak kenikmatannya. Dan akhirnya saya
memuntahkan sperma saya, dan kami nikmati orgasme bersama. Hari itu kami
lakukan sampai 3 kali, dan Bu Ning benar-benar menikmatinya.
Malamnya
kami hanya tidur tanpa mengenakan selembar benang pun sambil berpelukan. Dan
keesokan harinya kami lakukan hal yang sama seperti kemarin, dan serasa kami
sedang berbulan madu, sampai kedatangan Om Edy.
Pengalaman
dengan mentor sex saya ini ternyata dikemudian hari ada juga manfaatnya untuk
menghilangkan kejenuhan, karena mengajarkan bagaimana melakukan “foreplay”
dengan pasangan sebelum sampai pada puncak permainan. Selain itu timbul suatu
kelainan dalam kehidupan sex saya, karena hanya me-nikmati sex setelah melihat
atau membayangkan atau melakukan dengan wanita STW yang berkebaya/sanggul atau
rambut disasak.
Akhir
bulan Februari tahun berikutnya saya harus berangkat ke Jakarta karena akan melanjutkan kuliah
disana. Setiap liburan saya menyempatkan diri untuk berlibur di rumah Paman dan
bertemu dengan kekasih saya, dan Mentor
sex saya Bu Ning yang selalu mengenakan kebaya dan bersanggul. Dan juga apabila
ada kesempatan, kami mengulangi permainan sex dengan pola permainan yang sama.
= tamat =
Sumber : blogger
Tidak ada komentar:
Posting Komentar