|
|
San...
hei aku jaga nich.. malam ini, elu… jangan kirim pasien yang aneh-aneh ya,
aku mau bobo, begitu pesanku ketika terdengar telepon di ujung sana, di angkat. "Udah
makan belum..?" suara merdu di seberang sana menyahut. "Cie... illeee.. perhatian nich.."
aku menyambung dan, "Bodo
ach…". Lalu terdengar tuutt...
tuuuttt... tuuut… rupanya telepon di sana
sudah ditutup.
|
Malam ini aku dapat giliran
jaga di bangsal bedah sedangkan di UGD alias Unit Gawat Darurat ada dr. Sandra
yang jaga. Nah, UGD kalau sudah malam begini jadi pintu gerbang, jadi seluruh
pasien akan masuk via UGD, nanti baru dibagi-bagi atau diputuskan oleh dokter
jaga akan dikirim ke bagian mana para pasien yang perlu dirawat itu.
Syukur-syukur sih bisa ditangani langsung di UGD, jadi tidak perlu merepotkan
dokter bangsal.
dr. Sandra sendiri harus aku
akui dia cukup terampil dan pandai juga, masih sangat muda sekitar 28 tahun,
cantik me-nurutku, tidak terlalu tinggi sekitar 165cm dengan bodi sedang ideal,
kulitnya putih dengan rambut sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara
tenang seakan memberikan kesan sabar, tapi yang sering rekan sejawat jumpai,
yaitu ketus dan judes apalagi kalau lagi moodnya jelek sekali. Celakanya yang
sering ditunjukkan, ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, sampai sekarang
dia masih single. Cuma dengar-dengar saja belakangan ini dia lagi punya
hubungan khusus dengan dr. Anton, tapi aku juga tidak pasti.
Kira-kira jam 2 pagi, kamar
jaga aku diketuk dengan cukup keras juga. "Siapa..?" tanyaku masih
agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata. "Dok.., ditunggu di UGD ada
pasien konsul..", suara dibalik pintu itu menyahut, oh suster Lena rupanya.
"Ya..", sahutku sejurus kemudian.
Sampe di UGD kulihat ada beberapa pria di
dalam ruang UGD dan sayup-sayup terdengar suara rintihan halus dari ranjang
periksa di ujung sana.
Sem-pat kulihat sepintas seorang pria tergeletak di sana, tapi belum sempat kulihat lebih jelas
ketika dr. Sandra menyongsongku, "Fran.., pasien ini jari telunjuk kanannya
masuk ke mesin, parah, baru setengah jam sih.. tensi oke.. menurutku sih..
ampu-tasi (dipotong, gitu maksudnya) gimana menurut elu…?" demikian resume
singkat yang diberikan olehnya.
"San.., elu makin cantik
aja.." pujiku sebelum meraih sta-tus pasien yang diberikannya padaku dan
ketika aku berjalan menuju ke tempat pasien itu, sebuah cubitan keras mampir di
pinggangku, sambil dr. Sandra me-ngiringi langkahku sehingga tidak terlalu
terlihat apa yang dia lakukan. Sakit juga nih.. Saat kulihat, pasien itu memang
parah sekali, boleh dibilang hampir putus dan yang tertinggal cuma sedikit
daging dan kulit saja. "Dok, tolong dok... jangan dipotong…",
pintanya kepadaku memelas. Akhirnya aku panggil itu si Om
gendut, bosnya barangkali dan seorang rekan kerjanya untuk mendekat dan aku
berikan pengertian ke mereka semua.
"Siapa nama
Bapak..?" begitu aku memulai percakapan sambil melirik ke status untuk
memastikan bahwa status yang kupegang memang punya pasien ini.
"Praptono", sahutnya lemah. "Begini Pak Prap.., saya mengerti
keadaan Bapak dan saya akan berusaha untuk mempertahankan jari Bapak, namun hal
ini tidak mungkin dilakukan karena yang tersisa hanya sedikit daging dan kulit
saja, sehingga tidak ada lagi pembuluh darah yang mengalir sampai ke ujung
jari.
Bila saya jahit dan
sambungkan, itu hanya untuk sementara waktu, mungkin sekitar 2-4 hari setelah
itu, jari ini akan membusuk dan mau tidak mau pada akhirnya harus dibuang juga,
jadi dikerjakan 2 kali. Kalau sekarang kita lakukan, hanya butuh 1 kali pengerjaan
dengan hasil akhir yang lebih baik, saya akan berusaha untuk seminimal mungkin
membuang jaringannya dan pada penyembuhannya nanti diharapkan lebih cepat
karena lukanya rapih dan tidak compang-camping seperti ini…", begitu
penjelasan aku pada mereka.
Kira-kira seperempat jam
kubutuhkan waktu untuk meyakinkan mereka akan tindakan yang akan kami lakukan
padanya. Setelah semuanya oke, aku minta dr. Sandra untuk menyiapkan
dokumennya, termasuk surat
persetujuan tindakan medik dan pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku
siapkan peralatannya dibantu oleh suster-suster dinas di UGD. "San.., elu mau jadi operatornya…?"
tanyaku setelah semuanya siap.
"Ehm... aku jadi asisten elu aja deh…", jawabnya setelah
terdiam sejenak. Entah kenapa, ruangan UGD ini walaupun telah ber-AC namun
tetap saja aku merasa kepanasan, sehingga butir-butir keringat yang sebesar-besar
jagung bercucuran keluar, terutama dari dahi dan hidung yang mengalir hingga ke
leher saat aku kerja itu.
Untung Sandra mengamati hal
ini dan sebagai asisten dia cepat tanggap dan berulang kali dia menyeka
keringatku. Huh... aku suka sekali waktu dia menyeka keringatku, soalnya
wajahku dan wajahnya begitu dekat, sehingga aku juga bisa mencium wangi
tubuhnya yang begitu menggoda, lebih-lebih rambutnya yang sebahu dia gelung ke
atas, sehingga tampak lehernya yang putih berjenjang dan tengkuknya yang
ditumbuhi bulu-bulu halus. Benar-benar menggoda iman dan harapan.
Setengah jam kemudian selesai
sudah tugasku, tinggal menjahit untuk menutup lukanya yang tugas tersebut
kuserahkan pada dr. Sandra. Setelah itu ku lepaskan sarung tanganku sedikit
terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yang ada dan segera masuk ke kamar
jaga UGD untuk pipis. Ini yang membuat aku tidak tahan dari tadi, ingin pipis.
Daripada aku mesti lari ke bangsal bedah yang cukup jauh atau keluar UGD atau
keujung lorong sana yang juga ada toilet, lebih baik aku pilih di kamar dokter
jaga UGD ini, lagi pula rasanya lebih bersih.
Saat kubuka pintu toilet
(hendak keluar toilet), "Ooopsss..." terdengar jeritan kecil halus
dan kulihat dr. Sandra masih sibuk berusaha menutupi tubuh bagian atasnya
dengan kaos yang dipegangnya. "Ngapain lu di sini..?" tanyanya
ketus. "Aku habis pipis nih.., elu
juga kok nggak periksa-periksa dulu… terus ngapain elu buka baju…?"
tanyaku tak mau disalahkan begitu saja.
"Ya, udah keluar sana…"
suaranya sudah lebih lembut seraya bergerak ke balik pintu biar tidak kelihatan
dari luar saat kubuka pintu nanti.
Ketika aku sampai di pintu,
kulihat dr. Sandra tertunduk dan... ya ampun... pundaknya yang putih halus
terlihat sampai dengan ke pangkal lengannya. "San.., pundak elu
bagus…" bisikku dekat ketelinganya dan semburat merah muda segera itu pun
menjalar diwajahnya dan ia masih tertunduk yang menimbulkan keberanianku untuk
mengecup pundaknya perlahan. Ia tetap terdiam dan segera ku lanjutkan
gerakkanku dengan menjilati sepanjang pundaknya hingga ke pangkal leher dekat
tengkuknya. Kupegang lengannya, sempat tersentuh oleh ku, kaos yg sedang
dipegangnya untuk menutupi bagian depan tubuhnya dan kaos itu terasa agak
lembab. Rupanya, itu alasannya.. dia membuka kaosnya untuk menggantinya dengan
yang baru. Berkeringat juga rupanya dia tadi.
Perlahan kubalikkan tubuhnya
dan segera tampak punggungnya yang putih mulus, halus serta kurengkuh tubuhnya
dan kembali lidahku bermain lincah di pundak dan punggungnya hingga ke
tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan kusapu dengan lidahku yang
basah. "Aaaccch... ach..." desahnya
yang pertama dan disusul dengan jeritan kecil tertahan yang dilontarkannya,
ketika kugigit urat lehernya dengan gemas dan tubuhnya sedikit mengejang kaku.
Kuraba pangkal lengannya
hingga ke siku dan dengan sedikit tekanan kuusahakan untuk me-luruskannya,
sikunya yang secara otomatis menarik kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah.
Dari belakang pundaknya itu, kulihat dua buah gundukkan bukit yang tidak
terlalu besar tapi sangat menantang dan pada bukit yang sebelah kanan tampak
tonjolannya yang masih berwarna merah dadu sedangkan yang sebelah kiri tak
terlihat. Kusedot kembali urat lehernya dan ia menjerit tertahan, "Aach...
ach... ssshhh…" tubuhnya pun kurasakan semakin lemas oleh karena semakin
berat aku menahannya.
Dengan tetap dalam dekapan, kubimbing
dr. Sandra menuju ke ranjang yg ada dan perlahan kurebahkan dia, matanya masih
terpejam dengan guratan nikmat terhias di senyum tipisnya, dan secara refleks
tangannya bergerak menutupi buah dadanya. Kubaringkan tubuhku sendiri di
sampingnya dengan tangan kiri me-nyangga beban tubuh, sedangkan tangan kanan
mengusap lembut alis matanya, terus turun ke pangkal hidung, mengitari bibir
terus turun ke bawah dagu dan berakhir di ujung liang telinganya.
Senyum tipis terus menghias
wajahnya dan berakhir dengan desahan halus disertai terbukanya bibir ranum
itu. "Ssshhh... acchh..."
Kusentuhkan bibirku sendiri ke bibirnya, dan segera kami saling berpagutan
penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku memasuki mulut dan mencari lidah nya untuk
saling bergesekkan, kemudian kugesekkan lidahku ke langit-langit mulutnya,
sementara tangan kananku kembali menelusuri lekuk wajahnya, leher dan terus
turun menyusuri lembah bukit, kudorong tangan kanannya ke bawah dan ku kitari
putingnya yang menonjol itu.
Lima sampai tujuh kali putaran dan putingnya semakin
mengeras. Kulepaskan ciumanku dan kualihkan ke dagunya. Sandra memberikan leher
bagian de-pannya dan kusapu lehernya dengan lidahku terus turun dan menyusuri
tulang dadanya. Perlahan kutarik tangannya yang kiri yang masih menutupi
bukitnya. Tam-pak kini dengan jelas kedua puting susunya masih berwarna merah
dadu tapi yang kiri masih tenggelam dalam gundukkan bukit.
Feeling-ku mengatakan, belum
pernah ada yang menyentuh itu sebelumnya. Kujilat tepat di area puting kirinya
yang masih terpendam malu itu dan pada jilatan yang kelima atau keenam, aku
lupa, puting itu mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu dan segera ku
tangkap dengan lidah dan kutekankan di gigi bagian atas, "Ach... ach...
ach..." suara desisnya semakin menjadi dan kali ini tangannya juga mulai
aktif memberikan perlawanan dengan mengusap rambut dan punggungku.
Sambil terus memainkan kedua
buah payudaranya, tanganku mulai menjelajah area yang baru, turun ke bawah
melalui jalur tengah, terus dan terus menembus batas atas celana panjangnya,
sedikit tekanan dan kembali meluncur ke bawah menerobos karet celana dalamnya.
Perlahan turun sedikit demi sedikit dan segera tersentuh bulu-bulu yang sedikit
lebih kasar.
"Eeehhhm...
ech...". Tidak kuteruskan gerakan tanganku kebawah tapi tanganku bergerak
kembali naik keatas menyusuri lipatan celana panjangnya dan sampai pada area
pinggulnya dan segera kutekan dengan agak keras dan mantap, "Ach..."
pekiknya kecil pendek seraya bergerak sedikit liar dan mengangkat pantat dan
pinggulnya. Segera kutekan kembali lagi pinggul ini tapi kali ini kulakukan
keduanya kanan dan kiri dan, "Fran... ugh..." teriaknya tertahan. Aku
kaget juga, itu kan
artinya Sandra sadar siapa yang mencumbunya dan itu juga berarti dia memang
memberikan kesempatan itu untukku.
Matanya masih terpejam
hanya-hanya kadang terbuka. Kutarik restleting celananya dan kutarik celana itu
turun. Mudah, oleh karena Sandra memang me-nginginkannya juga, sehingga
gerakkan yang dilakukannya sangat membantu ku untuk membuka celana panjangnya.
Tungkainya sangat proporsional, kencang, putih, mulus, dan tentunya, dia
merawatnya dengan sangat baik, juga karena dia kan berasal dari keluarga kaya, kalau tidak
salah, bapaknya salah satu pejabat tinggi di bea cukai.
Kuraba paha bagian dalamnya
kemudian turun ke bawah betis, terus turun hingga punggung kaki dan secara tak
terduga Sandra meronta dan terduduk, dengan nafas memburu dan tersengal-sengal,
"Fran..." desisnya tertelan oleh nafasnya yang masih memburu.Kemudian
ia mulai membuka kancing bajuku dengan sedikit tergesa-gesa. Kubantu dia
melepaskan kan
bajuku, lalu setalah terlepas, ia mulai menyiumi dadaku yang bidang seraya
tangannya bergerak aktif menarik retsleting celanaku seraya menariknya lepas.
Langsung saja aku berdiri dan
melepaskan seluruh bajuku dan kuterjang Sandra sehingga ia rebah kembali dan
kujilat mulai dari perutnya. Sementara ta-ngannya ikut mengimbangi dengan
mengusap rambutku, ketika aku sampai di selangkangannya, kulihat ia memakai
celana berwarna dadu dan terlihat belahan tengahnya yang sedikit cekung
sementara pinggirnya menonjol keluar mirip pematang sawah dan ada sedikit noda
basah di tengahnya, tidak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip
keluar dari balik celananya.
Kurapatkan tungkainya lalu
kutarik celana dalamnya dan kembali kurentangkan kakinya seraya aku juga
melepas celanaku. Kini kami sama berbugil, kemaluanku tegang sekali dan cukup
besar untuk ukuranku. Sementara Sandra sudah mengangkang lebar tapi
labia-mayoranya masih tertutup rapat.
Kucoba membukanya dengan
jari-jari tangan kiriku dan tampak sebuah lubang kecil sebesar kancing di
tengahnya diliputi oleh semacam daging yang berwarna pucat demikian juga
dindingnya, tampak berwarna pucat walau lebih merah dibandingkan dengan bagian
tengahnya. Gila, rupanya masih perawan. Tak lama kulihat segera keluar cairan
bening yang mengalir dari lubang itu, karena sudah tidak ada lagi hambatan
mekanik yang menghalanginya untuk keluar dan banjir disertai baunya yang khas
makin terasa tajam. Baru saat itu kujulurkan lidahku untuk mengusapnya perlahan
dengan sedikit tekanan. "Eehhh... ach... ach... ehhh", desahnya
berkepanjangan.
Sementara lidahku mencoba
untuk membersihkannya, namun banjir itu datang tak tertahankan. Aku kembali
naik dan menindih tubuh Sandra, sementara kemaluanku menempel di
selangkangannya dan aku sudah tidak tahan lagi. Kemudian aku mulai meremas
payudara kanannya yang kenyal itu dengan kekuatan le-mah yang makin lama makin
kuat. "Fran... ambillah..." bisiknya tertahan seraya menggoyangkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi.
Dengan tangan kanan,
kuarahkan torpedoku untuk menembak dengan tepat. Satu kali gagal rasanya
melejit ke atas oleh karena licinnya cairan yang mem-banjir itu, dua kali masih
gagal juga, namun yang ketiga rasanya aku berhasil ketika tangan Sandra
tiba-tiba memegang erat kedua pergelangan tanganku dengan erat dan desisnya
seperti menahan sakit dengan bibir bawah yang ia gigit sendiri.
Sementara batang kejantananku
rasanya mulai memasuki liang yang sem-pit dan membuka sesuatu lembaran, sesaat
kemudian seluruh batang kemaluanku sudah tertanam dalam liang surganya dan kaki
Sandra pun sudah melingkari pinggangku dengan erat dan menahanku untuk
bergerak. "Tunggu..", pintanya ketika aku ingin bergerak.
Beberapa saat kemudian aku
mulai bergerak mengocoknya perlahan dan kaki Sandra pun sudah turun, mulanya
biasa saja dan respon yang diberikan juga masih minimal, sesaat kemudian
nafasnya kembali mulai memburu dan butir-butir keringat mulai tampak di
dadanya, rambutnya sudah kusut basah dan makin mempesona.
Gerakkan mengocokku mulai
kutingkatkan frekuensinya dan Sandra pun mulai dapat mengimbanginya. Makin lama
gerakan kami semakin seirama. Tangannya yang pada mulanya diletakkan di dadaku
kini bergerak naik dan akhirnya mengusap kepala dan punggungku. "Yach...
ach... eeehmm…" desisnya berirama dan sesaat kemudian aku makin merasakan
liang senggamanya makin sempit dan terasa makin menjempit kuat serta gerakkan
tubuhnya makin liar. Tangannya sudah meremas bantal dan menarik kain sprei,
sementara keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya, namun yang kunikmati
saat ini adalah kenikmatan yang ma-kin meningkat dan luar biasa, lain dari yang
kurasakan selama ini melalui masturbasi.
Makin cepat, cepat, cepat dan
akhirnya kaki Sandra kembali mengunci punggungku dan menariknya lebih ke dalam
bersamaan dengan pompaanku yang terakhir dan kami terdiam, sedetik kemudian..
"Eeeggghhh..." jeritannya tertahan bersamaan dengan mengalirnya
cairan nikmat itu menjalar di sepanjang kemaluanku dan, "Crooot...
crooot…", memberikannya kenikmatan yang luar biasa.
Sebaliknya bagi Sandra,
terasa ada semprotan kuat di dalam sana
dan memberikan rasa hangat yang mengalir dan berputar serasa terus menembus ke
dalam vagina-nya tiada berujung. Selesai sudah pertempuran, namun kekakuan
tubuhnya masih kurasakan, demikian juga tubuhku masih terasa kaku.
Sesaat kemudian kuraih bantal
yang tersisa, kulipat jadi dua dan kuletakkan kepalaku di situ setelah
sebelumnya bergeser sedikit untuk memberinya nafas agar beban tubuhku tidak
menindih paru-parunya, tapi tubuhku tetap menindih tubuhnya. Kulihat senyuman
puasnya masih mengembang di bibir mungilnya dan tubuhnya terlihat mengkilap,
licin karena keringat kami berdua. "Fran... thank you.." sesaat
kemudian, "Ehmmm.. Fran… aku boleh
tanya...?" bisiknya perlahan. "Ya…" sahutku sambil tersenyum dan
menyeka keringat yang menempel di ujung hidungnya.
"Aku... gadis keberapa
yang elu tidurin..?" tanyanya setelah sempat terdiam sejenak. "Yang
pertama…" kataku meyakinkannya,
namun Sandra me-ngerenyitkan alisnya.
"Sungguh..?" tanyanya untuk meyakinkan. "Betul...
keperawanan elu aku ambil.., tapi perjakaku juga elu yang ambil…." bisikku
di telinganya. Sandra tersenyum manis.
"San,.. thank you juga…", itu kata-kata terakhirnya sebelum ia
tidur terlelap, kelelahan dengan senyum puas masih tersungging di bibir
mungilnya dan batang kemaluanku juga masih belum keluar dari dalam vaginanya,
tapi aku juga ikut terlelap.
TAMAT
Sumber : blogger

Tidak ada komentar:
Posting Komentar