Pembaca
yang budiman, seri yang saya tulis berikut ini adalah benar-benar kejadian
yang pernah saya alami sendiri ditambah dengan sedikit bumbu penyedap.
Beberapa wanita yang pernah berhubungan dengan saya kebetulan berasal dari suku & etnis yg berbeda. Umumnya usianya lebih tua dari saya, namun beberapa ada yang seumur
bahkan lebih muda dari saya.
|
Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menghina siapapun. Pengalaman ini saya sampaikan semata-mata hanya untuk berbagi pengalaman saja, tanpa ada maksud lainnya. Kali ini saya akan bercerita tentang Ina, seorang wanita berdarah campuran Aceh-Melayu.
Entah
bagaimana awalnya sepulang dari kantor aku tahu-tahu sudah berada di Stasiun
Tanah Abang. Padahal rumahku di kawasan Jakarta Timur. Waktu itu, 1994, Stasiun
Tanah Abang lagi direnovasi. Kulihat seorang wanita sedang asyik menelepon dari
telepon umum koin di dalam stasiun. Aku mendekat dengan tidak menyolok, seolah-olah
aku antri mau menelpon. Kuamat-amati dari dekat wanita tadi. Wajahnya bulat,
rambut ikal sebahu, kulit agak gelap tapi bersih, tidak terlalu cantik alias
STD, badannya montok, kurasa sedikit overweight namun badannya kelihatan
kencang, tinggi sekitar 163
cm, dada 34 B.
Satu
koin telah habis dan dia memasukkan koin berikutnya. Ternyata sampai koin kedua
habis dia masih belum selesai berbicara. Dia menatapku dan memberi isyarat
apakah aku punya koin dan dia boleh minta koinku. Kuulurkan dua koin kembalian
naik mikrolet tadi. Dia mengangguk dan dengan gerakan bibir dia katakan terima
kasih. Belum habis satu koin dariku tadi dia sudah menutup pembicaraannya.
Dikembalikannya satu koin kepadaku, tapi kutolak dengan isyarat tangan.
“Terima
kasih koinnya” dia membuka percakapan, “Silakan kalau mau telpon” lanjutnya.
“Tadinya sih memang mau telpon, tapi tiba-tiba aku ingat kalau orang yang
kutuju lagi keluar kota”
jawabku cari alasan. Aku memang tidak ada niat telepon, hanya karena kulihat
dia dari jauh agak OK makanya kudekati. “Kelihatannya penting amat telponnya
tadi, tapi sorry bukan aku mau tahu urusan orang” kataku. “Iya, telpon ke
adikku. Besok ada acara keluarga, rame-rame sebulan sekali” jawabnya ramah.
“Ohh iya, aku Anto” kuulurkan tanganku. “Ina” sahutnya pendek menyambut
tanganku. Busyet, keras amat jabatan tangannya. Jangan-jangan kuli angkat
stasiun pikirku.
Kami
keluar dari ruangan stasiun dan berdiri di teras. Kembali basa-basi standar
orang timur terjadi. Pertanyaan-pertanyaan baku seperti dari mana? Mau ke mana? Dengan
siapa? Meluncur begitu saja. Kuamati sekali lagi dari atas ke bawah dengan
cermat. Meskipun tidak terlalu cantik, kelihatannya OK juga kalau diajak
bergumul di atas ranjang. Kuberanikan diriku untuk mengajaknya ke wisma kecil di
depan stasiun. Kupikir untung-untungan aja. Kalau dia marah, ya tinggal aja.
Kalau mau, itu dia yang diharapkan.
“Ina
mau ikut saya” tanyaku memancing. “Ke mana?” “Itu tuh ke depan situ ” sambil
tanganku menunjuk ke arah wisma. Wisma tersebut memang kelihatan bukan seperti
tempat penginapan tapi lebih mirip kafe dengan belahan bambu yang disusun
sebagai dinding depan. Kelihatannya cukup bersih bagi sebuah hotel melati. Dan
aku sangat yakin bahwa wisma tersebut dipakai untuk lembur “short time” bagi
pasangan selingkuh ataupun pasangan cinta kilat yang ada di sekitarnya. “Boleh
aja” akhirnya dia menjawab setelah sekilas melihat ke arah wisma.
Kami
masuk ke wisma dan membayar di kasir. Ternyata betul dugaanku, kamar wisma ini
disewakan per jam. Kami masuk ke dalam kamar. Ina terlihat agak kaget ketika
melihat isi kamar, sebuah ranjang single bed dan sebuah almari pakaian. “Lho,
kita mau ngapain di sini? Jangan macam-macam padaku” tanyanya menatapku. “Lah, tadi katanya mau diajak ke sini, sekarang kok tanya lagi” sahutku tenang.
“Kukira tadi ini kafe, kamu mau ngajak makan atau minum di sini. Ternyata.. ”
Ina kelihatannya mau protes.
“OK, aku nggak biasa maksa wanita. To the point saja, kita mau making love di sini, kalau keberatan ya kita cabut aja,” kataku. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengatupkan bibirnya. “Baiklah kalau begitu, saya juga tidak keberatan kalau kamu ngajak ML sekarang. Jadi apa sekarang?” Ina merebahkan tubuhnya ke ranjang. Aku mengikuti menjatuhkan tubuhku di sampingnya.
“Tadinya
kalau kamu mau macem-macem kuhajar kamu. Aku atlet Tae Kwon Do dan pernah ikut
seleksi daerah” katanya datar. Situasi sudah aman terkendali. Kulihat dari nada
bicaranya dia udah jinak. “Gak lah, kan
tadi sudah kubilang aku nggak suka maksa orang”. Tanganku mulai bergerilya.
Pertama-tama kuselusupkan tanganku kiriku dari bawah badannya dan memeluk bahu
kirinya. Kuremas lembut dan kuelus-elus. Ina kelihatan makin santai dan mulai
menikmati. “Yess.. ” sorakku dalam hati. Kami diam beberapa saat.
“Berapa
umurmu?” tanyaku memecah kesunyian. “Kenapa emangnya?” “Nggak pa-pa, kalau nggak mau kasih tau”.
“Tiga puluh, kamu berapa? Dua delapan?” tanyanya agak ragu. “Belum, baru dua lima kok”. “Wajahmu
kelihatan lebih dewasa dibanding umurmu, tadinya kusangka malahan seumurku”.
“Kamu punya suami In?” tanyaku.
“Aku punya, tapi bukan suami resmi. Kami hidup bersama tanpa nikah. Dia kerja sebagai DJ di Mabes, aku waitress di tempat yang sama. Sekarang aku lagi ada masalah sama dia. Aku mau cari kontrakan sendiri “. Kueratkan pelukanku seolah-olah ikut menanggung bebannya dan memberikan simpatiku. Ia melepaskan diri dari pelukanku dan bangkit berdiri. “Sebentar To, aku ke kamar mandi dulu”.
Beberapa
saat kemudian terdengar suara siraman air. Ina keluar dari kamar mandi dan
duduk di tepi ranjang. Kupeluk dia dari belakang, tanganku kulingkarkan di
pinggangnya. Kusibakkan rambutnya, kucium dan kugigit tengkuknya dengan gigitan
kecil. Berdasarkan pengalamanku dengan gigitan kecil di tengkuk, aku akan dapat
menguasainya tanpa dia merasa tertekan.
“Sebentar,
aku buka dulu bajuku ya,” Katanya sambil berdiri dan membuka kancing bajunya
satu persatu. Ia membuka baju dan kemudian celana panjangnya. Kini ia tinggal
mengenalan pakaian dalam saja, semuanya berwarna hitam. Bra dan celana dalamnya
dari bahan transparan sehingga dapat kulihat puting dan padang rumput di bawah perutnya. Ada sedikit gumpalan
lemak di perut dan pahanya. “Ayo To, atau kamu cuma mau lihatin aku terus”
tangannya menarik tanganku. Aku berdiri dan kuangkat kedua tanganku ke atas. Ia
mengumam ” Dasar manja”. Tangannya kemudian membuka kancing bajuku dan
menariknya hingga terlepas, lalu kemudian membuka ikat pinggangku dan akhirnya
menarik ritsluiting dan dengan perlahan ia menarik celanaku ke bawah. Kini kami
sama-sama hanya mengenakan pakaian dalam
saja.
“Kamu
sering ke sini ya?” tanyanya. Sebuah pertanyaan standar lagi, dan rasanya dia
dan juga wanita lainnya pasti tahu jawabannya. “Ah nggak” kataku. “Nggak
percaya, kok tahu ini sebuah wisma, padahal kelihatannya dari luar seperti
kafe”. “Kamu nggak perhatikan sih. kok
papan namanya kecil di atas pintu masuk” “Kamu masih perjaka?” ia bertanya lagi. “Emangnya kenapa. Jujur saja aku nggak
perjaka lagi?” “Eehhngng, .. ” Ia
mendesah ketika lehernya kujilati dalam posisi berdiri.
Ina
mendorongku ke ranjang dan menindihku. Tanganku bergerak kebelakang punggungnya
membuka pengait bra-nya. Kini terbukalah dadanya di hadapanku. Buah dadanya
besar dan kencang. Putingnya berwarna coklat dan keras. Ina memainkan lidahnya
jauh ke dalam rongga mulutku. Bibirnya agak tebal dan kaku. Ina kurang mahir
dalam berciuman bibir. Lidahnya memainkan lidahku. Aku tidak mau aktif, paling
sesekali gantian mendorong lidahnya. Tangan kananku memilin puting serta
meremas payudaranya. Ina menggerakkan tubuhnya agak ke atas. Payudaranya pas
sekali di depan mulutku. Segera kuterkam payudaranya dengan mulutku. Putingnya
kuisap pelan dan kugigit kecil.
“Aaacchh,
Ayo Anto.. Teruskan Anto.. Teruskan”. Ia mengerang.. Kemaluanku mengeras. Ina
menekankan selangkangannya pada selangkanganku. Kemaluanku agak sakit jika dia
terlalu keras menekanku. Puting dan payudaranya semakin keras. Kusedot
payudaranya sehingga semuanya masuk ke dalam mulutku, putingnya kumainkan
dengan lidahku. Dadanya mulai naik turun dengan cepat pertanda nafsunya mulai
naik. Napasnya terputus-putus.
Tangan
Ina menyusup di balik celana dalamku, kemudian mengelus, meremas, mengocok dan
menggoyang-goyangkan meriamku. Ditariknya celana dalamku dan dilepaskannya ke
bawah. Kini aku dalam keadaan bugil. Ina menggerakkan bibirnya ke arah leherku,
mengecup, menjilati leherku dan menggigit kecil daun telingaku. Hembusan
napasnya terasa kuat. Dia mulai menjilati putingku dan tangannya bermain-main
dengan bulu dadaku. Aku terangsang hebat sekali. Kugelengkan kepalaku untuk
menahan rangsangan ini. Kupeluk pinggangnya kuat-kuat.
Tangannya
lalu membuka celana dalamnya sendiri dan melemparkannya ke dekat kaki. Tangan
kiriku bermain di antara selangkangannya. Rambut kemaluannya tidak lebat dan
tidak panjang. Kubuka bibir luar dan bibir dalam vaginanya. Jari tengahku masuk
sekitar 2 cm
dan menekan bagian atas organ kewanitaannya menonjol seperti kacang. Setiap aku
mengusapnya Ina mengerang tertahan. Aku tidak mau jariku terlalu masuk ke dalam,
cukup hanya masuk satu ruas dan mengusap serta menekan dinding atas vaginanya.
Aku pernah baca tentang G-Spot, tapi aku juga tidak terlalu berharap untuk
menemukannya pada wanita yang kukencani. Aku percaya bahwa setiap wanita punya
titik rangsangan yang unik.
“Oouuhh..
Aaauhh.. Ngngnggnghhk….” Kulepaskan
tanganku dari selangkangannya. Mulutnya semakin ke bawah, menjilati bulu dada
dan perutku. Tangannya masih bermain-main di kejantananku. Dengan bahasa tubuh
kuisyaratkan agar dia mau menghisap meriamku. Entah kenapa kali ini dengan Ina
aku ingin sekali melakukan oral sex. Biasanya aku menyerahkan pada inisiatif
lawan mainku. Dia hanya menggeleng dan bibirnya terus menyusuri perut dan
pinggangku.
Ina
kembali bergerak ke atas, tangan kirinya memegang dan mengusap kejantananku
yang telah berdiri mengeras. Badannya kurasakan memang kencang dan keras,
maklum atlet. Kugulingkan badannya sehingga aku berada di atas. Kembali kami
berciuman. Tapi memang Ina kurang bisa bermain dengan bibirnya sehingga ciuman
kami juga tidak terlalu nikmat. Kuisap-isap puting susunya sehingga dia
mendesis dan memekik perlahan dengan suara sengau.
“SShh..
Ssshh .. Ngghh…. Perlahan lahan kuturunkan pantatku sambil memutar-mutarkannya.
Penisku bagian ujung lebih besar daripada pangkalnya. Kepala penisku digenggam
dengan telapak tangannya, dan digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa
hangat dan mulai berair. Dia mengarahkan kejantananku untuk masuk ke dalam
vaginanya. Kuminta dia untuk melepaskan tangannya dari penisku. Aku ingin
memasukkan tanpa bantuan tangan, hanya dengan daya ketegangan dan kekerasan
penis. Ina merenggangkan kedua pahanya dan sedikit mengangkat pantatnya. Kepala
penisku sudah mulai menyusup di bibir vaginanya. Kugesek-gesekkan di bibir
luarnya sampai terasa keras sekali. Ina hanya merintih dan memohon padaku untuk
segera memasukkannya semua.
“Ayolah
Anto, please.. Pleasse.. ” Aku mencoba
untuk menusuk lebih dalam, tetapi ternyata masih agak sulit. Akhirnya
kukencangkan otot Kundaliniku dan kali ini.. Blleessh. Usahaku berhasil.
“Ouhh.. Ina ouhh,” kini aku yang setengah berteriak. Aku bergerak naik turun.
Perlahan-lahan saja kugerakkan, sambil mencari posisi dan saat yang tepat. Ina
mengimbangi dengan memutar pinggulnya. Kepalanya mendongak ke atas dan bergerak
ke kanan kiri. Kedua tanganku bertumpu menahan berat badanku. Ketika lendirnya
sudah membasahi vaginanya kupercepat gerakanku.
Kadang-kadang
kubuat tinggal kepala penisku saja yang menyentuh mulut vaginanya. Kuhentikan
gerakanku, kurebahkan tubuhku di atasnya. Kini penisku kukeraskan dengan cara
seolah-olah menahan kencing hingga terasa mendesak dinding vaginanya. Kutunggu
reaksinya. Aku mengharap agar ia juga melakukan kontraksi dinding vaginanya. Ia
hanya terpejam dan bola matanya memutih setiap penisku berkontraksi. Ternyata
ia tidak terlatih untuk melakukan kontraksi otot kemaluannya. Beberapa saat
kami dalam posisi itu tanpa menggerakkan tubuh, hanya otot kemaluanku saja yang
bekerja sambil saling berciuman dan memagut bagian tubuh lawan main kami.
“Anto,
.. Sedap.. Nikmat sekali.. Ooouuhh” desisnya sambil menciumi leherku. Kuputar
kaki kanannya melewati kepalaku sehingga aku berada di belakangnya. Kuputar
tubuhnya lagi sampai aku menindihnya dalam posisi kami berdua tengkurap di
ranjang. Dalam posisi ini gerakanku naik turunku menjadi bebas. Tangannya
meremas-remas tepi ranjang. Kuciumi tengkuk dan lehernya. Ketika kucium
lehernya di bagian samping, kepalanya terangkat dan mulutnya mencari-cari
bibirku. Kusambut mulutnya sebentar. Kuatur gerakanku dengan ritme pelan namun
kutusukkan dengan dalam sampai kurasakan kepala penisku menyentuh mulut
rahimnya. Ketika penisku menyentuh rahimnya Ina mengangkat pantatnya sehingga
tubuh kami merapat.
Kupegang
pinggulnya dan kutarik sehingga pantatnya terangkat ke belakang. Ina tahu
keinginanku. Kepalanya ditaruh miring di atas bantal dan pantatnya menggantung
dalam posisi nungging. Doggie Style!! Kupegang pinggulnya dengan kuat. Pantatku
kugerakkan maju mundur dan terkadang memutar. Ina juga mengimbanginya dengan
menggerakkan pantatnya maju mundur. Bunyi paha beradu memenuhi seluruh ruangan
kamar. Kadang kujulurkan tanganku ke depan untuk memainkan payudaranya.
“Plok..
Plok plok plok.. ” “Anto.. Ayo lebih
cepat lagi.. Ayoo” Kupercepat gerakanku
dan Ina juga mengimbanginya. Kulirik jam dinding. Sudah setengah jam lebih kami
bertempur. Kupikir sebentar lagi akan kutuntaskan permainan ini. “Lebih cepat lagi, oohh.. Aku mau keluar
aacchhkk.. ” Akupun merasa ada yang mau
terlepas dari laras meriamku. Aku selalu mau mencapai puncak dalam posisi
konvensional. Kucabut meriamku dan kugulingkan lagi tubuhnya kembali dalam
posisi konvensional. Tidak mungkin dalam posisi doggie style kembali ke
konvensional tanpa mencabut penis. Kumasukkan kembali penisku dengan perlahan dan
dengan ketegangan yang penuh. Ina memelukku erat. Kakinya membelit pahaku,
matanya terpejam, kepalanya terangkat.
Kuubah
gerakanku, kugerakkan dengan pelan dan ujung penisku saja yang masuk beberapa
kali. Dan kemudian kutusukkan sekali dengan cepat sampai seluruh batang
terbenam. Matanya semakin sayu dan gerakannya semakin ganas. Aku menghentikan
gerakanku dengan tiba-tiba. Payudaranya sebelah kuremas dan sebelah lagi
kuhisap kuat-kuat. Tubuh Ida bergetar “Ayo jangan berhenti, teruskan.. Teruskan
lagi ” pintanya.
Aku
merasa wanita ini hampir mencapai puncak. Kugerakkan lagi pantatku dengan
gerakan yang cepat dan dalam. Bunyi seperti kaki yang berjalan di tanah becek
makin keras bercampur dengan bunyi desah napas yang memburu. “Crrok crok crok.. “. “Ayolah Anto, aku mau kelluu.. “. Gerakan pantatku semakin cepat dan
akhirnya “Sekarang.. Sayang..
Sekarang..!!”
Tubuhnya
menegang, dinding vaginanya berdenyut kuat, napasnya tersengal dan tangannya
memukuli punggungku. Kukencangkan otot perut dan kutahan, terasa seperti ada
aliran yang mau keluar. Aku berhenti sejenak dalam posisi kepala penis saja
yang masuk vaginanya, kemudian kuhunjamkan cepat dan dalam. Crot
Crott.. Crott, beberapa kali spermaku kutembakkan. Kami saling berteriak
tertahan untuk menyalurkan rasa kepuasan.
“Yess..
Achh.. Auuhhkk…”. Pantatnya naik menyambut hunjamanku dan tubuhnya gemetar,
pelukan dan jepitan kakinya semakin erat sampai aku merasa sesak, denyutan di
dalam vaginanya terasa kuat sekali meremas kejantananku. Beberapa saat kami
berdiam untuk memulihkan tenaga. Kucabut meriamku dan kami membersihkan diri.
“Kamu OK In, hanya satu kekuranganmu. Kurang romantis dan kurang lihai bermain
bibir” kataku memuji sekaligus mengkritik.
“Yach, memang itulah kemampuanku” jawabnya.
“Yach, memang itulah kemampuanku” jawabnya.
“Di dalam arena pertandingan mungkin aku babak belur kena tendanganmu, tapi di atas ranjang jangan coba-coba, kamu tahu sendiri hasilnya kan? Makanya jangan macam-macam denganku ” kataku bercanda. Kami keluar dari hotel dan pulang bersama-sama karena kebetulan rumah kami searah. Setelah itu kami masih sering bikin janji untuk berkencan.
Pernah
sekali kukerjain dia di kamar kontrakannya di lantai II, sementara yang punya
rumah tinggal di lantai I. Lucunya ketika masih dalam keadaan bugil dan
berhimpitan dia dipanggil karena ada telepon buatnya. Kubilang terima dulu
telponnya deh, tapi dia bilang biar saja, lagi tanggung katanya. Sampai
akhirnya waktu kami berpisaHPun dia masih belum mahir untuk melakukan french
kiss. Erangannya ketika kami bercinta selalu membuat adrenalinku berpacu. Satu
hal keistimewaannya adalah kenikmatan yang luar biasa ketika doggie
style….. (Where are you now, In?)
= TAMAT
=
Sumber : blogger

Tidak ada komentar:
Posting Komentar